Telah menjadi tabiat hampir sebagian besar kita untuk senantiasa asyik membuat sebutan sebutan baru, kosakata “anyar” yang kadang kedengaran genit dan menggemaskan namun itulah keniscayaan eksistensial yang dimiliki oleh siapapun dimanapun, bukankah hidup tak lebih dari upaya untuk memaknai sesuatu dengan lebih dulu memberikannya nama ? Ketika sesuatu telah bernama adakah lantas persoalan menjadi selesai, ataukah ada upaya, ikhtiar, iktikad baik ,dan apapun namanya untuk lebih jauh mengkaji, mencermati, mengenali hal yang paling esensial terhadap sesuatu yang kita beri nama itu ? Mudah mudahan.
Berbicara tentang perkembangan musik indie di Malang seperti berbicara tentang sebulat benang kusut yang tak jelas dimana ujungnya. Bermunculannya puluhan mungkin ratusan kelompok musik yang “mengaku” indie telah menyata sebagai fenomena budaya yang justru ahistoris.
Beberapa kalangan pemusik Malang acapkali beromantisme dengan masa kejayaan dimana Malang pernah menjadi barometer perkembangan musik di tanah air, untuk hal inipun sepertinya juga masih ahistoris.
Ada semacam kegamangan yang mungkin menjadi latent dalam diri pemusik terutama dalam hal eksistensi bermusik, dan tarik menarik antara yang pusat dan yang pinggir lantas menjelma sikap romantis terhadap pendahulu pendahulunya. Fenomena musik indie yang banyak bermunculan tak jauh berbeda dengan fenomena yang sama dipelbagai kota di Indonesia. , dan hal semacam ini masih terlalu dini dikatakan sebagai perkembangan terlebih jika menjadi parameter meningkatnya apresiasi musik ditingkat lokal.
Malang, sebagai kota urban (tepatnya Kota Sejuta Ruko) tak pelak akan dipenuhi dengan berbagai nilai budaya “usungan” yang dibawa oleh para urban ( mahasiswa, dan pencari kerja ) dan sebagai kota yang mungkin mulai kehilangan identitas lokalnya, adalah niscaya jika bermunculan berbagai bentuk fenomena budaya baru, salah satunya yang sering disebut dengan gagah, musik indie .
Sebagai perfomansi musikal yang cenderung ahistoris, terdapat kesulitan untuk menemukan sebuah pengertian tentang apakah sebenarnya musik indie itu ? walau pada dasarnya saya sangat setuju bahwa persoalan musik tidak bisa semata berhenti pada persoalan definitif karena ekspresi musikal berada diluar wilayah definisi. Pada titik inilah saya mencoba untuk mengenal lebih jauh aspek musikal apa sajakah yang dimiliki musik indie.
Pada mulanya saya berfikir bahwa kata indie berasal dari kata indigeneous yang berarti pribumi dan dari pemahaman semacam ini saya berasumsi bahwa musik indie adalah perfomansi musik yang mengusung dan menggunakan musikalitas lokal (tradisi) sebagai medium ekspresi musikalnya namun ternyata dugaan saya keliru, apa yang pernah saya saksikan dari berbagai musik indie (tepatnya band indie) ternyata secara musikalitas tak jauh berbeda dengan rekan rekan mereka di Inggris, dan Amerika baik dari skala interval yang dipakai, instrumentarium, mekanisme produksi dan distribusi, sampai aksi panggung dan aksesoris.
Adakah ini sebentuk inferioritas, rasa rendah diri karena kita yang “indo” dan serba tanggung , bule bukan, ngaku pribumi malu. Ah kenapa saya tiba tiba menjadi rasialis begini ?
Begini kawan, sebuah pertukaran budaya adalah keniscayaan yang tak terelakkan dijaman seperti sekarang namun saya sangsi yang terjadi bukanlah pertukaran budaya namun hegemoni budaya. Ya seperti itulah realitas kita sekarang cenderung plastis dan kagetan. Lantas saya mencoba mencari pengertian lain apakah yang dimaksud dengan indie, jika selama ini perkataan indie lebih merujuk pada usaha secara mandiri dalam berkarya, memproduksi, dan merencanakan pola distribusi, pemahaman saya justru melompat kewilayah diluar musik, yakni mekanisme pasar dan industri musik.
Barangkali disini letak persoalan sebenarnya, ketika idealisme bermusik harus berhadapan dengan selera pasar muncul semacam perlawanan terhadap dominasi industri musik berskala besar, yang sering disebut mayor label. Ironinya, acapkali muncul semacam sikap sinis terhadap bermacam kelompok musik yang bernaung dibawah payung mayor label sebagai kelompok yang tidak memiliki idealisme bermusik karena dianggap telah menjadi alat industri.
Terdapat sikap ambigu yang ditutupi dengan mengatasnamakan idealisme bermusik, karena saya juga tidak yakin apakah kelompok musik yang tergabung dalam mayor label tidak memiliki idealisme itu ? Satu hal yang mungkin perlu diingat adalah bahwa selera musik dapat dikonstruksi dengan berbagai macam cara , salah satunya adalah mengubah selera pasar dan selama ini para agen industri musik berskala besar acapkali menggunakan hal yang demikian.
Jika memang seseorang ataupun kelompok musik merasa yakin dengan idealisme bermusiknya semestinya juga harus bisa menerima secara “legawa” resiko potensi pasarnya sendiri, dan jika popularitas, dan berbagai keuntungan finansial yang menjadi motivasi utama pada seseorang atau kelompok musik dalam berkarya maka jadilah pengrajin musik saja yang setiap saat siap sedia menerima pesanan.
Pertumbuhan musik indie di Malang seperti halnya kota kota lain adalah sebentuk fenomena budaya urban yang suntuk dengan segala macam bentuk rutinitas hidup, otoritas, dan dominasi agen agen industri yang cenderung alergis dengan sesuatu yang berbau marginal.
Sementara disatu sisi ruang ekspresi menyempit karena homogenitas selera , maka jalan apalagikah yang mesti ditempuh jika bukan DO IT By Your Self, spiritualitas generasi bunga “60-an , asumsi filosofis para hippies, dan heroisme punkers yang terasing ditanah lahir sendiri, menjadikannya fashion mungkin juga berhala. Ah nasi basi dalam kemasan baru, mengekor kita selalu, bule bukan ngaku pribumi malu.
Oleh : Wahyu “avess” Laki laki penghibur sering nongkrong di “SINAU”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar