Pertarungan politik bukan hanya dalam rangka pencitraan saja namun lebih kedalam itu rejim orde wacana citra diri atau rejim gemagus penuh galau dan kepanikan ini ternyata sangat cerdas dalam bersikap. Satu demi satu thesis dengan antithesisnya dijalankan, bak perang antar intelijen atau agen khusus, namun sayang memang hanya untuk menepis satu demi satu tanpa pernah sama sekali memperbaiki citra sebenarnya apabila mata dengan cermat melihat, apalagi pembelajaran yang mencerdaskan. Jelas sangat jauh karena memang tak ada niat untuk memperbaiki kondisi masyarakat luas.
Tahun 2014 memang sudah dekat, dan kekuasaan 5 tahun sekali adalah hal yang sangat pendek dengan pola baru apalagi membangun akar kekuasaan, sangat tidak mungkin dan memang itu adalah niatan bersih demokrasi karena ada pemerataan kecerdasaan dan evaluasi yang berlanjut akan progres sebuah negara yang sehat dan waras. Jelas sangat tidak mungkin untuk mematahkan keistimewaan Yogyakarta dengan raja dan gubernurnya yang bisa seumur hidup karena secara budaya memang belum pernah ada perang dan pengambilalihan kekuasaan dari kerajaan mataram kepada negara Indonesia.
Adalah menjadi hak bagi raja negara Mataram waktu itu untuk menegosiasikan atas integrasinya kepada Republik dengan masih diakuinya Yogyakarta sebagai sebuah Mataram, menjadi sebuah daerah yang istimewa. Demikian pula seharusnya yang terjadi dengan kerajaan-kerajaan lain yang mensupport baik material maupun non material demi perjuangan dan kemerdekaan Republik kala itu, meski tanpa kuitansi maupun bukti jasa. Aneh ketika ada pemikiran bahwa akan memunculkan kembali presiden seumur hidup demi mematahkan keistimewaan Yogyakarta karena pemilihan atau penetapan Gubernurnya, ataukah Republik sudah iri akan keistimewaan Yogyakarta, sehingga ingin memiliki raja daripada presiden yang boros biayanya karena setiap 5 tahun sekali harus mengadakan pemilihan presiden, dasar negeri begajul. Bukankah setiap orang pun sudah mengetahui dan mafhum bahwa kerajaan Mataram secara rendah hati cukup terima hanya menjadi aset wisata sehingga mati-matian untuk tidak berubah menjadi kerajaan modern dengan ini itu dan inovasinya yang jika digelar mungkin akan lebih waras.
Galau, ya, akan menjadi semakin membuat kegalauan ketika dengan mudahnya menepis dan membuat lupa, bahkan membuat sibuk para pemuka kepercayaan dan tokoh-tokoh agama tergabung dalam rohaniwan pemberi pekerti tentang belasan kebohongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu, sangat murah, tidak kentara namun memberi hasil yang signifikan dengan mencomot serta mendukung secara halus kelompok-kelompok islam keras yang tidak mau mengaku keras untuk membubarkan saudaranya sendiri Ahmadiyah, entah salah atau tidak namun sudah beberapa nyawa melayang, serta penciptaan trauma tak terperi bagi pengikut ahmadiyah. Sekarang siapa yang sempat lagi menoleh tentang deklarasi pernyataan tentang 18 kebohongan presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, jangankan menoleh, mungkin mengingatpun sudah ketakutan dan tak sempat lagi karena muka para tokoh agama itu suda dicoreng dengan kejadian Cikeusik dan konflik bernuansa SARA lain yang notabene adalah tanggungjawab dan beban para tokoh keagamaan yang terhormat tersebut.
Mengapa galau semakin berkobar merebakan kegalauan demi kegalauan, semakin menggalau hingga akhirnya entah akan menjadi apa kebengisan rejim yang dibalut dengan kepanikan hingga penggalauan ilmu pengetahuan hingga penimbunan galau dalam setiap regulasi yang digulirkan?. Bukan tidak mungkin penciptaan crops circle di lokasi paling strategis dalam kacamata lain di Mataram, adalah bentuk adu galau politik tingkat tinggi sehingga isu istimewa Jogja menjadi agak dingin dan tidak membuat panik, selain erupsi merapi yang pernah disetting untuk mengkerdilkan tokoh tertentu.
Hingga sebuah potret manusia tentang pencari uang bernama Gayus yang menjadi korban karena mungkin siapapun bahkan yang berteriak takbir ketika menyerang sesamanya hanya karena berbeda pun akan lebih rakus ketika duduk dikursi seseorang bernama Gayus. Juga dengan mudahnya mencoreng muka partai besar lawan politik hanya dengan isu ketua umum panitia olah raga rebutan bola dimasukkan ke gawang lawan. Juga kegalauan para pecinta kebebasan berekspresi dan informasi terhadap Datuk Maringgih tukang tweet pantun galau tanpa makna. Apalagi dengan seorang menteri pencatat notulensi rapat kabinet yang akan meninabobokkan beberapa stasiun dan terminal informasi karena menjelek-jelekkan penguasa. Sudah bertebaran galau di negeri ini, yang bisa mengalahkan kegalauan pengendara ketika pasrah berhenti dalam kemacetan Jakarta.
surga begajul, ataukah memang surga menjadi pertanyaan yang sangat penting untuk memudahkan kelancaran dalam pengaweta kekuasaan. Semangat sadumuk bathuk sanyari bumi adalah api dalam sekam yang mudah disulut. Kekerasan dan sifat perjuangan hingga titik darah penghabisan yang pernah terejawantahkan ketika merebut hingga mempertahankan kemerdekaan bisa menjadi bom waktu dan bumerang bagi Republik ini, sifat ksatria ketika harga dirinya terkoyak bukan tidak mungkin hal itu sangat dicontoh oleh revolusi dan gejolak politik di timur tengah saat ini. Sebagaimana mungkin yang ada dalam benak para punggawa tirani tafsir untuk bersiap menjalani adu domba yang tak akan pernah disadarinya.
Lebih membuat galau adalah menyatukan figur-figur cinta damai dan pluralis yang sepertinya tidak terwadahi lagi dalam satu ikatan sebagaimana yang dilakukan Abdurrahman Wahid ketika itu, mereka para pejuang kemanusiaan, anti kekerasan dan pluralisme saat ini seakan menjadi ronin yang galau tanpa tuan namun berhadapan dengan ronin-ronin Soeharto yang sudah menjelma menjadi ninja dengan persenjataan dan mental yang sudah pulih lagi. Akan menjadi apa lagi daripada menjadikan panik dan galaunya kekuasaan ditangan, hal paling mudah adalah mengadunya untuk mendapatkan benih-benih kesetiaan baru pada Putera Mahkota yang sedang disiapkan, meski masih nampak goblok dan super pekok. Wallahualam, semoga hanyalah kegalauan saya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar